Kamis, 13 November 2014

hukum bertransaksi dengan Bank yang ada bunganya



MAKALAH
“ HUKUM BUNGA BANK”
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masailul Fiqh Yang di Bina Oleh
Bapak. M. Noor Harissudin, M. Fil. I


Oleh:
LISTIANA EKA PUTRI MAYA SARI       ( 084121408 )
ALVINA TURIA                                           ( 084121413 )
FATHUR ROZI                                             ( 084121422 )
FIQI M. RIZAL                                             ( 084121416 )
WAHYU LUTHFUATUL ULUM                ( 084131502 )
LA ROSSA HUMAIRA ARUMING M      ( 084131011 )
Kelas P
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  JEMBER
JURUSAN TARBIYAH/PAI
 Oktober 2014



 



KATA PENGANTAR
Puji sukur ke hadirat Allah SWT, Karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan, Bermula dari untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Masailul Fiqh dan untuk menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat, saya memberanikan diri untuk menambahkan seperlunya hingga menjadi sebuah makalah yang sedang anda baca saat ini. Semoga makalah tentang “ Hukum Bunga Bank ” ini dapat menyumbangkan sedikit pemikiran dan wacana mengenai Masailul Fiqh.
Terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini pula, saya mengaturkan terimakasih banyak kepada Bapak. Harissudin selaku dosen mata kuliah Masailul Fiqh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember. Melalui bimbingan dan pembelajaran Masailul Fiqh saya mendapatkan banyak pengetahuan dan pemahaman yang sangat bermanfaat.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini bermanfaat untuk siapa saja.


Jember, 1 Oktober 2014

Penulis






ii
 
 


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... .. i
KATA PENGANTAR ....................................................................................  ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang............................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 1     
C.     Tujuan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
A.    Pengertian Bunga dan Riba............................................................ 3     
B.     Sejarah Bunga Bank....................................................................... 4
C.     Macam – macam Riba ...................................................................  7
D.    Hukum Bunga Bank....................................................................... 9
E.     Hikmah Haramnya Riba................................................................. 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................... 14
Daftar Pustaka................................................................................ 15




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Disadari atau tidak, kini kita hidup dan menikmati sistem kapitalisme global. Jargon “ globalisasi” sering digunakan sebagai eufisme atas kapitalisme gobal. Sistem kapitalisme global ditopang oleh tangan-tangan perusahaan multinasional, dengan alokasi sumber daya yang didasarkan atas mekanisme pasar, diakuinya hak-hak milik individu. Boleh dikata jaringan perbankan global merupakan jantungnya.
Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang utuh dan terpadu. Islam memberi panduan yang dinamis dan lugas terhadap semua aspek kehidupan, termasuk sektor bisnis dan transaksi keuangan. Khususnya dalam masalah perbankan, sebagian umat islam sering kali menghadapi dilema hukum : apakah bunga bank itu haram, apakah halal, ataukah subhat ?.
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secra istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a change for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned. Yang artinya bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.
Banyaknya pertanyaan diseputar masalah ini dapat disebabkan oleh ketidakmengertian dan kesalahpahaman umat islam terhadap dinul-islam yang dianutnya. Oleh karena itu kami ingin membahas tentang bagaimana hukumnya transaksi dengan bank yang ada bunganya. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian bunga dan riba ?
2.      Bagaimanakah sejarahnya bunga bank ?
3.      Apa saja macam-macam riba ?
4.      Bagaimanakah hukumnya bunga bank ?
5.      Apa hikmah diharamkannya riba ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian bunga bank dan riba
2.      Untuk mengetahui sejarahya bunga bank
3.      Untuk mengetahui macam-macam riba
4.      Untuk mengetahui hukumnya bunga bank
5.      Untuk mengetahui haramnya riba
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bunga dan Riba
1.      Pengertian Bunga
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya di nyatakan dengan prosentase dari uang yang di pinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest” yaitu sejumlah uang yang di bayar atau di kalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya di nyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkutan dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga uang timbul dari sejumlah uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “capital” atau “modal” berupa uang. Dalam dunia ekonomi bunga lazim pula disebut dengan istilah “rente”.[1]
Dari uraian di atas jelas bahwa bunga itu dapat di pandang sebagai harga, yaitu harga yang di bayar untuk penggunaan modal uang. Juga dapat dianggap sebagai perbedaan nilai, yaitu perbedaan nilai sejumlah uang sekarang dengan jumlah uang yang akan di peroleh kemudian hari.
2.      Pengertian Riba
Kata riba berarti bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-riba atau ar-Rima makna asalnya tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Sementara para ulama fiqih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Apabila kita dasarkan pada pengertian riba yang tercantum dalam surat Ar-Rum ayat 39, “riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain.”
Berdasarkan ayat ancang-ancang tersebut diatas, selanjutnya Allah menurunkan ayat yang melarang tegas terhadap kegiatan riba. QS. Al-Baqarah:277 dan 278. Sesungguhnya demikian, yang terlebih dahulu turun adalah ayat-ayat yang masih bersifat penjelasan. Ini nampak dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275, yang didalamnya mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama, transaksi jual beli (bay’) itu tidak sama dengan riba. Kedua, perdagangan itu diperbolehkan, sedangkan riba itu diharamkan. Ketiga, mereka yang telah mendengar ayat larangan riba, segera harus berhenti, tanpa mengembalikan riba yang telah terlanjur ditarik. Dengan demikian dapat disimpulkan, riba adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang di benarkan syari’ah. [2]
B.     Sejarahnya Bunga Bank
Pelarangan riba bukan hanya terdapat dalam ajaran gama islam saja, ia telah menjadi musuh bersama. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2 ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi wacana di kalangan Yahudi, Yunani, Romawi, dan Kristiani. Ajaran Yahudi sebenarnya juga melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud seperti dinyatakan Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25.
Pada masa Yunani, sekitar abad VI sebelum masehi – I masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable). Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Praktik pengambilan bunga dicela oleh para filsuf Yunani : Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) dikenal sangat mengecam praktik bunga.
Menurut keyakinan Nasrani, kalangan agamawan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6: 34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga seperti pandangan kaum pendeta agamawan kristiani dari generasi awal (abad I – XII) yang mengharamkan bunga.
Umat Islam dilarang mengambil riba dalam bentuk apapun. Larangan ini secara tegas, jelas dan qath’I terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an diturunkan secara bertahap seperti larangan khamr yakni melalui empat tahap :
1.      Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang awalnya seolah-olah menolong sebagai suatu amalan taqarrub kepada Allah SWT, pada hakikatnya justru menjerumuskan (Ar-Rum : 39).
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2.      Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam member balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba (An-Nisa’ : 160-161).
بِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمً
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
3.      Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut, tapi bukan menjadi persyaratan diharamkannya riba (Ali-Imran : 130)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
4.      Terakhir, Allah SWT, Dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir penuntas masalah riba. (Al-Baqarah : 278-279)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”.
Ayat diatas baru akan sempurna kita pahami jika kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ah-Thabari meriwayatkan, “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW. Bahwa semua utang mereka, beserta piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Mekkah yang juga meliputi kota Thaif. Di Thaif Amr bin Umair bin Auf senantiasa meminjamkan uang kepada bani Mughirah dan sejak zaman jahiliah bani Mughirah selalu membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani Mughirah-seperti sediakala- namun bani Mughrah setelah memeluk Islam menolak untuk memberi tambahan (riba). Maka dilaporkan masalah tersebut kepada Gubernur Itab. Menanggapi masalah tersebut Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian menulis surat balasan yang isinya : “Jika mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkalah ultimatum perang kepada mereka” (Tafsir Thabari, Vol. VI, Hlm. 33).[3]
C.    Macam-macam Riba
Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat bagian / macam, yaitu :
1.      Riba fadhli ( menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidal sama )
2.      Riba qardhi (meminjamkan dengan syarat ada keuntungan bagi yang mempiutang)
3.      Riba yadh (bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima)
4.      Riba nasa’ (penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang)[4]
Ulama fiqh sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’I A bdul Hadi (1993) membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan “ kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan dengan ukuran syarak.”
Yang dimaksud ukuran syarak adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya 1 kg beras dijual dengan 1 ¼ kg. kelebihan ¼ tersebut disebut riba fadl.
Riba an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang berutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah hutang bertambah pula.
Pelarangan riba an-nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diijinkan oleh syari’ah. Tidak ada perbedaan apakah uang itu dalam presentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayar dimuka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima sebagai syarat peminjaman. Inti dari permasalahan disini adalah keuntungan positif yang ditetapkan dimuka.[5]
Riba fadhal ialah tambahan yang diperoleh oleh seseorang sebagai hasil pertukaran dua barang yang sejenis, missal : pertukaran antara 1 gr emas dengan 2 gr emas. Kelebihan 1 gr emas yang dipertukarkan itulah riba fadhal.[6]
Larangan riba al-fadl dengan demikian dimaksudkan untuk meyakinkan adanya keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui tukar menukar barang yang tidak adil serta menutup semua pintu belakang bagi riba, karena dalam syari’at islam segala sesuatu yang menjadi sarana terjadinya pelanggaran juga termasuk pelanggaran itu sendiri. Nabi SAW menyamakan riba dengan menipu orang bodoh agar membeli barangnya dan menerangkan sistem ijon secara sia sia dengan bantuan agen. Hal ini mengandung arti bahwa tambahan uang yang diperoleh dengan cara eksploitasi dan penipuan seperti tidak lain kecuali riba al-fadl.[7]
D.    Hukumnya Bunga Bank
Riba hukumnya haram secara pasti berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’. Ayat-ayat al-Qur’an (QS. An-Nisa’: 160-161, Ali Imran : 130, al-Baqarah: 275-276 dan 278-279). Hukum haramnya riba termasuk hukum Islam kategori syari’ah atau ma ulima minaddini bidldlarurah yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Demikian juga ulama telah konsensus/ijma’, bahwa riba hukumnya haram bahkan termasuk dosa yang besar yang akan mencelakakan pelakunya di akhirat kelak, dan akan merusak sendi-sendi moral kehidupan umat manusia, baik individu maupun masyarakat.[8] 
Pada hadits, dengan  jelas dan tegas menunjukkan hukum haram. Larangan riba terdapat dalam hadits yang artinya sebagai berikut:
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidak adilan.[9]
Berikut ini adalah larangan riba dalam al-qur’an menurut tahapan-tahapannya karena larangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus sesuai dengan sifat al-Qur’an yang turun secara tadrij demi mendidik umat manusia yang tabiatnya cenderung menentang. Mengingat Arab pra Islam sudah sangat terbiasa dengan praktek-praktek ribawi. Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an diturunkan dalam empat tahap.[10]
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang sepintas (pada zahirnya) seolah-olah menolong orang yang butuh sebagai suatu perbuatan “mendekat” kepada Allah. (QS. Ar-Rum:39).
Tahap kedua, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yanng berlipat ganda. Menurut para ahli tafsir, pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. (QS. Ali Imran: 130).
Tahap ketiga, ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syariat dari terjadinya riba (jangan dipahami jika bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jika bunga kecil maka dianggap bukan riba), tetapi ini merupakan “sifat umum” dari praktik pembuangan uang pada masa itu. Ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriyah.
Tahap keempat, pengharaman riba secara tegas dari Allah SWT apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Inilah ayat terakhir turun mengenai riba yaitu QS. Al-Baqarah: 278-279.
Apakah Bunga Bank termasuk Riba?
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindaridari bermu’amalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya haji di Indonesia, umat Islam memakai jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonmian Indonesia tidak selancar dan semaju sekarang ini. Namun para ulama dan para cendekiawan muslim hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang bank konvensional yang memakai sistem bunga ini. Adakah bunga bank itu termasuk riba, yang karenanya diharamkan, atau tidak termasuk riba yang oleh karenanya diperbolehkan?
Dalam menanggapi masalah ini ada beberapa pendapat:[11]
a.    Pendapat pertama mengatakan, bahwa bunga bank termasuk kategori riba nasi’ah, sebab esensinya adalah sama, yakniadanya ziyadah/tambahan nilai sebagai imbalan penundaan tempo pembayaran hutang. Dengan demikian hukumnya haram. Karena itu umat Islam tidak boleh bermu’amalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat. Jadi hukum haram ini bisa berubah menjadi halal/boleh karena darurat. Hal ini sejalan dengan kaidah:
اَلضَّرُوْرَاتُ  تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”
Diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Zahra, Abu A’la Mauduli, Musthafa Ahmad Zarqa’ dan Rasyid Ridha.
b.    Pendapat kedua mengatakan, bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang dilarang. Sebab yang dilarang adalah pinjaman yang bunganya berlipat ganda sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyah. Hal ini sejalan dengan mafhum mukhalafah ayat 130 surat Ali Imran:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَأْ كُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artimya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imron: 130)
Yang berpandangan demikian adalah Syaikh Aziz Jawisy (Fathi Usman, al-Fiqhul Qanunil Islami: 221), A. Hasan Bangil (pendiri Persis).
c.     Pendapat ketiga mengatakan bahwa bunga bank untuk tujuan produktif halal/boleh, sedangkan apabila untuk tujuan konsumtif haram. Sebab riba yang dilarang pada zaman jahiliyah adalah bersifat konsumtif (Wahbah Zuhaili, Nadlariyah adl-Dlaruriyah as-Syar’iyah: 232).
d.   Sedangkan hasil Bahtsul Masail NU dalam Muktamar ke 13 pada tahun 1938 di kota Menes Banten, mengatakan bahwa bunga bank hukumnya ada tiga, yaitu haram, seperti banyak dalam kitab-kitab fiqh yang ada, kedua syubhat, dan ketiga halal, atas dasar pertimbangan bahwa Nabi bersabda:
خَيْرُكُمْ احْسَنُكُمْ قَضَاءً
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam cara membayar hutang.”
Hadits tersebut mencerminkan tentang sahabat yang membayar hutangnya dengan barang yang lebih baik dari barang yang dihutangnya. Walaupun dalam kaitan ini Imam Malik mengatakan “Jika dengan adanya tambahan itu melebihi hutangnya, maka tetap tidak boleh.”
Terlepas dari apa yang telah dikemukakan, perlu dikemukakan di sini analisa dan kesimpulan tentang bermu’amalah dengan bank konvensional oleh Dr. Syaichul Hadi Purnomo, SH, MA., Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Ampel. Tentang bermu’amalah dengan bank konvensional, beliau menyimpilkan: “Bermu’amalah dengan bank konvensional yang ada sekarang ini, hukumnya halal, mubah, boleh. Meski kita tetap mendambakan kehadiran bank Islam, bank yang tidak memakai sistem bunga. Demikian juga bunga bank dari uang yang didepositokan, halal hukumnya.”
E.     Hikmah Diharamkannya Riba
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa hikamah pengharaman riba secara kasarnya adalah karena riba itu menindas orang yang terpaksa dan terdesak, menghilangkan rasa simpati dan kasih sayang kepada manusia, menghapuskan sifat tolong menolong dalam kehidupan eksploitasi orang yang kuat terhadap yang lemah, dan merupakan kemudharatan yang besar kepada manusia. Jika uang dijadikan alat muamalat dengan tambahan riba atas penangguhan, maka akan cacatlah nilai harta yang seoatutnya nilainya tetap.
Islam tidak memihak kepada kepentingan pengusaha dan mengalahkan kepentingan pemilik modal. Islam juga tidak berat sebelah kepada pemilik modal sehingga menyepelekan kontribusi usaha. Keduanya berada dalam posisi yang seimbang. Ini juga mencerminkan keadilan Allah yang tidak memihak kepada salah satu pihak.
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haytsami dalam kitabnya az-Zawaajir meringkas hikmah-hikmah yang terkandung dibalik pengharaman riba sebagai berikut:[12]
1.      Merupakan pelanggaran terhadap kesucian harta seorang muslim yang mengambil kelebihan atau tambahan tanpa dibarengi adanya pertukaran dan penggantian.
2.      Riba berdampak buruk sekali terhadap para fakir miskin karena pada umumnya hanya orang kayalah yang meminjamkan uangnya, sedangkan yang miminjam adalah orang yang miskin. Apabila si kaya tetap dibiarkan mengambil atau menerima lebih banyak, maka hal yang demikian akan sangat merugikan yang miskin.
3.      Riba mengakibatkan terputusnya nilai luhur kebaikan yang ada dalam pinjam meminjam uang atau utang piutang. Apabila dihalalkan untuk meminjam satu dirham dengan pengembalian dua dirham, maka tidak akan ada yang meminjamkan satu dirham dan hanya mengembalikannya satu dirham saja.
4.      Riba mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki, perniagaan, keterampilan, dan industri.   





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya di nyatakan dengan prosentase dari uang yang di pinjamkan. sedangkan riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
2.      Riba/ bunga bank tidak hanya dilarang di agama islam, melainkan juga dilarang dalam agama lainya seperti yahudi, kristiani dll. Karena riba / bunga bank merupakan perbuatan yang bisa merugikan orang lain atau diri sendiri, yang jelas-jelas tidak diperbolehkan bagi semua kalangan.
3.      Macam-macam riba ada 4 yaitu Riba fadhli ( menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama ), Riba qardhi (meminjamkan dengan syarat ada keuntungan bagi yang mempiutang), Riba yadh (bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima), Riba nasa’ (penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang).
4.      Ulama juga telah konsensus/ijma’, bahwa riba hukumnya haram bahkan termasuk dosa yang besar yang akan mencelakakan pelakunya di akhirat kelak, dan akan merusak sendi-sendi moral kehidupan umat manusia, baik individu maupun masyarakat.
5.      Riba mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki, perniagaan, keterampilan, dan industri.   




DAFTAR PUSTA
·         Budi Utomo , Setiawan. 2003. FIQH AKTUAL  Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
·         Harahap, Syabirin.1984. Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam. Jakarta :Pustaka Al Husna.
·         Harisudin, M. Noor. 2014. Fiqih Muamalah 1. Surabaya: Pena Salsabila.
·         Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta : Unit Penerbitan dan Percentakan (UPP) AMPYKPN.
·         Muhammad. 2006. Bank Syari’ah.Yogyakarta: Ekonisia
·         Mujtaba, Saifuddin. 2008. Al-Masailul Fiqhiyah. Surabaya: IMTIYAS.
·         Syakir Sula, Muhammad. 2004. Asuransi Syariah konsep dan sistem operasional. Jakarta: Gema Insani.


[1] Muhammad, Bank Syari’ah (Yogyakarta: Ekonisia,2006), 28
[2] Ibid, 28-29.
[3] Setiawan Budi Utomo. FIQH AKTUAL Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta:Gema Insani Press,2003), hlm 77-79
[4] Drs. Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta :Pustaka Al Husna, 1984), 57-58 .
[5] Drs. Muhammad, M.Ag, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta : Unit Penerbitan dan Percentakan (UPP) AMPYKPN, 2002), 42 .
[6] Drs. Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta :Pustaka Al Husna, 1984), 57-58 .
[7] Drs. Muhammad, M.Ag, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta : Unit Penerbitan dan Percentakan (UPP) AMPYKPN, 2002), 42 .
[8] Mujtaba, Saifuddin. Al-Masailul Fiqhiyah. 2008. Surabaya: IMTIYAS. Hal 69.
[9] Harisudin, M. Noor, Dr. M. Fil.I. Fiqih Muamalah 1. 2014. Surabaya: Pena Salsabila. Hal 104.  
[10] Harisudin, M. Noor, Dr. M. Fil.I. Fiqih Muamalah 1. 2014. Surabaya: Pena Salsabila. Hal 102-103.
[11] Mujtaba, Saifuddin. Al-Masailul Fiqhiyah. 2008. Surabaya: IMTIYAS. Hal 70.
[12] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah konsep dan sistem operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 137-139.
 













 
                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar