MAKALAH
“ HUKUM BUNGA BANK”
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Masailul
Fiqh Yang di Bina Oleh
Bapak. M.
Noor Harissudin, M. Fil.
I
Oleh:
LISTIANA
EKA PUTRI MAYA SARI ( 084121408 )
ALVINA TURIA ( 084121413 )
FATHUR
ROZI ( 084121422 )
FIQI M.
RIZAL ( 084121416 )
WAHYU LUTHFUATUL ULUM (
084131502 )
LA ROSSA HUMAIRA ARUMING M ( 084131011 )
Kelas P
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
JURUSAN TARBIYAH/PAI
Oktober 2014
KATA PENGANTAR
Puji sukur ke hadirat Allah SWT, Karena berkat
kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan, Bermula dari untuk memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Masailul Fiqh dan untuk menambah wawasan pengetahuan
yang bermanfaat, saya memberanikan diri untuk menambahkan seperlunya hingga
menjadi sebuah makalah yang sedang anda baca saat ini. Semoga makalah tentang “ Hukum Bunga Bank ” ini dapat menyumbangkan
sedikit pemikiran dan wacana mengenai Masailul Fiqh.
Terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
hingga makalah ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini pula, saya
mengaturkan terimakasih banyak kepada Bapak. Harissudin selaku dosen mata
kuliah Masailul Fiqh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember. Melalui
bimbingan dan pembelajaran Masailul Fiqh saya mendapatkan banyak pengetahuan
dan pemahaman yang sangat bermanfaat.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini bermanfaat untuk siapa saja.
Jember, 1 Oktober 2014
Penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL .................................................................................... ..
i
KATA
PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR
ISI...................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...............................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah...........................................................................
1
C.
Tujuan.............................................................................................
2
BAB II
PEMBAHASAN..............................................................................
A.
Pengertian
Bunga dan Riba............................................................
3
B.
Sejarah Bunga Bank.......................................................................
4
C.
Macam – macam Riba ................................................................... 7
D.
Hukum Bunga Bank.......................................................................
9
E.
Hikmah Haramnya Riba.................................................................
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.....................................................................................
14
Daftar Pustaka................................................................................
15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Disadari atau
tidak, kini kita hidup dan menikmati sistem kapitalisme global. Jargon “
globalisasi” sering digunakan sebagai eufisme atas kapitalisme gobal. Sistem
kapitalisme global ditopang oleh tangan-tangan perusahaan multinasional, dengan
alokasi sumber daya yang didasarkan atas mekanisme pasar, diakuinya hak-hak
milik individu. Boleh dikata jaringan perbankan global merupakan jantungnya.
Islam adalah
suatu sistem dan jalan hidup yang utuh dan terpadu. Islam memberi panduan yang
dinamis dan lugas terhadap semua aspek kehidupan, termasuk sektor bisnis dan
transaksi keuangan. Khususnya dalam masalah perbankan, sebagian umat islam
sering kali menghadapi dilema hukum : apakah bunga bank itu haram, apakah
halal, ataukah subhat ?.
Secara
leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secra istilah
sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a
change for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned.
Yang artinya bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.
Banyaknya
pertanyaan diseputar masalah ini dapat disebabkan oleh ketidakmengertian dan
kesalahpahaman umat islam terhadap dinul-islam yang dianutnya. Oleh karena itu
kami ingin membahas tentang bagaimana hukumnya transaksi dengan bank yang ada
bunganya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian bunga dan riba ?
2.
Bagaimanakah sejarahnya bunga bank ?
3.
Apa saja macam-macam riba ?
4.
Bagaimanakah hukumnya bunga bank ?
5.
Apa hikmah diharamkannya riba ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian bunga bank dan riba
2.
Untuk mengetahui sejarahya bunga bank
3.
Untuk mengetahui macam-macam riba
4.
Untuk mengetahui hukumnya bunga bank
5.
Untuk mengetahui haramnya riba
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bunga dan Riba
1. Pengertian Bunga
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest.
Secara istilah bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya di
nyatakan dengan prosentase dari uang yang di pinjamkan. Pendapat lain
menyatakan “interest” yaitu sejumlah uang yang di bayar atau di kalkulasi untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya di nyatakan dengan satu tingkat atau
prosentase modal yang bersangkutan dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga uang timbul dari sejumlah uang pokoknya,
yang lazim disebut dengan istilah “capital” atau “modal” berupa uang. Dalam
dunia ekonomi bunga lazim pula disebut dengan istilah “rente”.[1]
Dari uraian di atas jelas bahwa bunga itu dapat di pandang sebagai
harga, yaitu harga yang di bayar untuk penggunaan modal uang. Juga dapat
dianggap sebagai perbedaan nilai, yaitu perbedaan nilai sejumlah uang sekarang
dengan jumlah uang yang akan di peroleh kemudian hari.
2.
Pengertian Riba
Kata riba berarti bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-riba atau
ar-Rima makna asalnya tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam
konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang
tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah
banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Sementara para ulama fiqih mendefinisikan riba dengan “kelebihan
harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya. Maksud dari
pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi
utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang
jatuh tempo.
Apabila kita dasarkan pada pengertian riba yang tercantum dalam
surat Ar-Rum ayat 39, “riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada
harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain.”
Berdasarkan ayat ancang-ancang tersebut diatas, selanjutnya Allah
menurunkan ayat yang melarang tegas terhadap kegiatan riba. QS. Al-Baqarah:277
dan 278. Sesungguhnya demikian, yang terlebih dahulu turun adalah ayat-ayat
yang masih bersifat penjelasan. Ini nampak dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 275, yang didalamnya mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama, transaksi
jual beli (bay’) itu tidak sama dengan riba. Kedua, perdagangan itu
diperbolehkan, sedangkan riba itu diharamkan. Ketiga, mereka yang telah
mendengar ayat larangan riba, segera harus berhenti, tanpa mengembalikan riba
yang telah terlanjur ditarik. Dengan demikian dapat disimpulkan, riba adalah
setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang di benarkan syari’ah. [2]
B.
Sejarahnya Bunga Bank
Pelarangan riba
bukan hanya terdapat dalam ajaran gama islam saja, ia telah menjadi musuh
bersama. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga
lebih dari 2 ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi wacana di kalangan
Yahudi, Yunani, Romawi, dan Kristiani. Ajaran Yahudi sebenarnya juga melarang
praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci
mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang
Talmud seperti dinyatakan Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25.
Pada masa
Yunani, sekitar abad VI sebelum masehi – I masehi, telah terdapat beberapa
jenis bunga. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga,
pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable). Pada
masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak
diperbolehkan. Praktik pengambilan bunga dicela oleh para filsuf Yunani : Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) dikenal sangat mengecam praktik
bunga.
Menurut
keyakinan Nasrani, kalangan agamawan kristiani menganggap bahwa ayat yang
terdapat dalam Lukas 6: 34-35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan
bunga seperti pandangan kaum pendeta agamawan kristiani dari generasi awal
(abad I – XII) yang mengharamkan bunga.
Umat Islam
dilarang mengambil riba dalam bentuk apapun. Larangan ini secara tegas, jelas
dan qath’I terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Larangan
riba yang terdapat dalam Al-Qur’an diturunkan secara bertahap seperti larangan khamr
yakni melalui empat tahap :
1.
Pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang awalnya seolah-olah menolong sebagai suatu
amalan taqarrub kepada Allah SWT, pada hakikatnya justru menjerumuskan
(Ar-Rum : 39).
وَمَا آتَيْتُمْ
مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)”.
2.
Kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam member balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang memakan riba (An-Nisa’ : 160-161).
بِظُلْمٍ مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمً
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
3.
Ketiga, riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut, tapi
bukan menjadi persyaratan diharamkannya riba (Ali-Imran : 130)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”
4.
Terakhir, Allah
SWT, Dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir penuntas masalah riba. (Al-Baqarah
: 278-279)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba. jika memang kamu orang yang
beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka
terimalah pernyataan perang dari Allah
dan rasul Nya dan jika kalian
bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat
zalim dan tidak pula dizalimi”.
Ayat
diatas baru akan sempurna kita pahami jika kita cermati bersama asbabun
nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ah-Thabari meriwayatkan, “Kaum Tsaqif,
penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW.
Bahwa semua utang mereka, beserta piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan
riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah,
Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Mekkah yang juga meliputi
kota Thaif. Di Thaif Amr bin Umair bin Auf senantiasa meminjamkan uang kepada
bani Mughirah dan sejak zaman jahiliah bani Mughirah selalu membayarnya dengan tambahan
riba. Setelah kedatangan Islam, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan
tambahan (riba) dari bani Mughirah-seperti sediakala- namun bani Mughrah
setelah memeluk Islam menolak untuk memberi tambahan (riba). Maka dilaporkan
masalah tersebut kepada Gubernur Itab. Menanggapi masalah tersebut Gubernur
Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian menulis
surat balasan yang isinya : “Jika mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas
maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkalah ultimatum
perang kepada mereka” (Tafsir Thabari, Vol. VI, Hlm. 33).[3]
C.
Macam-macam Riba
Menurut
pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat bagian / macam, yaitu :
1.
Riba fadhli ( menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidal sama
)
2.
Riba qardhi (meminjamkan dengan syarat ada keuntungan bagi yang
mempiutang)
3.
Riba yadh (bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima)
4.
Riba nasa’ (penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua
barang)[4]
Ulama fiqh
sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’I A bdul Hadi (1993) membagi riba menjadi
dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang
berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan “
kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan dengan ukuran syarak.”
Yang dimaksud
ukuran syarak adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya 1 kg beras dijual
dengan 1 ¼ kg. kelebihan ¼ tersebut disebut riba fadl.
Riba an-nasi’ah
adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik
modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu jatuh tempo sudah
tiba, ternyata orang berutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya,
maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah hutang bertambah pula.
Pelarangan riba
an-nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang
yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti,
pada dasarnya tidak diijinkan oleh syari’ah. Tidak ada perbedaan apakah uang
itu dalam presentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah
yang harus dibayar dimuka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk
hadiah atau jasa yang diterima sebagai syarat peminjaman. Inti dari
permasalahan disini adalah keuntungan positif yang ditetapkan dimuka.[5]
Riba fadhal
ialah tambahan yang diperoleh oleh seseorang sebagai hasil pertukaran dua
barang yang sejenis, missal : pertukaran antara 1 gr emas dengan 2 gr emas.
Kelebihan 1 gr emas yang dipertukarkan itulah riba fadhal.[6]
Larangan riba
al-fadl dengan demikian dimaksudkan untuk meyakinkan adanya keadilan dan
menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui tukar menukar barang yang tidak
adil serta menutup semua pintu belakang bagi riba, karena dalam syari’at islam
segala sesuatu yang menjadi sarana terjadinya pelanggaran juga termasuk
pelanggaran itu sendiri. Nabi SAW menyamakan riba dengan menipu orang bodoh
agar membeli barangnya dan menerangkan sistem ijon secara sia sia dengan
bantuan agen. Hal ini mengandung arti bahwa tambahan uang yang diperoleh dengan
cara eksploitasi dan penipuan seperti tidak lain kecuali riba al-fadl.[7]
D.
Hukumnya Bunga Bank
Riba hukumnya
haram secara pasti berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’. Ayat-ayat
al-Qur’an (QS. An-Nisa’: 160-161, Ali Imran : 130, al-Baqarah: 275-276 dan
278-279). Hukum haramnya riba termasuk hukum Islam kategori syari’ah atau ma
ulima minaddini bidldlarurah yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Demikian
juga ulama telah konsensus/ijma’, bahwa riba hukumnya haram bahkan termasuk
dosa yang besar yang akan mencelakakan pelakunya di akhirat kelak, dan akan
merusak sendi-sendi moral kehidupan umat manusia, baik individu maupun
masyarakat.[8]
Pada hadits,
dengan jelas dan tegas menunjukkan hukum
haram. Larangan riba terdapat dalam hadits yang artinya sebagai berikut:
“Ingatlah bahwa
kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah
melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, hutang akibat riba harus
dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita
ataupun mengalami ketidak adilan.[9]
Berikut ini
adalah larangan riba dalam al-qur’an menurut tahapan-tahapannya karena larangan
riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus sesuai dengan sifat al-Qur’an
yang turun secara tadrij demi mendidik umat manusia yang tabiatnya cenderung
menentang. Mengingat Arab pra Islam sudah sangat terbiasa dengan
praktek-praktek ribawi. Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an diturunkan
dalam empat tahap.[10]
Tahap pertama,
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang sepintas (pada zahirnya) seolah-olah
menolong orang yang butuh sebagai suatu perbuatan “mendekat” kepada Allah. (QS.
Ar-Rum:39).
Tahap kedua,
riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yanng berlipat ganda.
Menurut para ahli tafsir, pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi
merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. (QS. Ali Imran:
130).
Tahap ketiga,
ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus dipahami
bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syariat dari terjadinya riba
(jangan dipahami jika bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jika bunga kecil
maka dianggap bukan riba), tetapi ini merupakan “sifat umum” dari praktik
pembuangan uang pada masa itu. Ayat ini harus dipahami secara komprehensif
dengan ayat 278-279 surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriyah.
Tahap keempat,
pengharaman riba secara tegas dari Allah SWT apapun jenis tambahan yang diambil
dari pinjaman. Inilah ayat terakhir turun mengenai riba yaitu QS. Al-Baqarah:
278-279.
Apakah Bunga
Bank termasuk Riba?
Dalam kehidupan
modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindaridari
bermu’amalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam aspek
kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya haji di Indonesia, umat
Islam memakai jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonmian Indonesia tidak
selancar dan semaju sekarang ini. Namun para ulama dan para cendekiawan muslim
hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang bank konvensional yang memakai
sistem bunga ini. Adakah bunga bank itu termasuk riba, yang karenanya
diharamkan, atau tidak termasuk riba yang oleh karenanya diperbolehkan?
Dalam
menanggapi masalah ini ada beberapa pendapat:[11]
a.
Pendapat pertama mengatakan, bahwa bunga bank termasuk kategori
riba nasi’ah, sebab esensinya adalah sama, yakniadanya ziyadah/tambahan nilai
sebagai imbalan penundaan tempo pembayaran hutang. Dengan demikian hukumnya
haram. Karena itu umat Islam tidak boleh bermu’amalah dengan bank yang memakai
sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat. Jadi hukum haram ini bisa
berubah menjadi halal/boleh karena darurat. Hal ini sejalan dengan kaidah:
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ
الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya:
“Darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”
Diantara
yang berpendapat demikian adalah Abu Zahra, Abu A’la Mauduli, Musthafa Ahmad
Zarqa’ dan Rasyid Ridha.
b.
Pendapat kedua mengatakan, bahwa bunga bank tidak termasuk riba
yang dilarang. Sebab yang dilarang adalah pinjaman yang bunganya berlipat ganda
sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyah. Hal ini sejalan dengan mafhum
mukhalafah ayat 130 surat Ali Imran:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَأْ كُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artimya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Ali Imron: 130)
Yang
berpandangan demikian adalah Syaikh Aziz Jawisy (Fathi Usman, al-Fiqhul Qanunil
Islami: 221), A. Hasan Bangil (pendiri Persis).
c.
Pendapat ketiga mengatakan
bahwa bunga bank untuk tujuan produktif halal/boleh, sedangkan apabila untuk
tujuan konsumtif haram. Sebab riba yang dilarang pada zaman jahiliyah adalah
bersifat konsumtif (Wahbah Zuhaili, Nadlariyah adl-Dlaruriyah as-Syar’iyah:
232).
d.
Sedangkan hasil Bahtsul Masail NU dalam Muktamar ke 13 pada tahun
1938 di kota Menes Banten, mengatakan bahwa bunga bank hukumnya ada tiga, yaitu
haram, seperti banyak dalam kitab-kitab fiqh yang ada, kedua syubhat, dan
ketiga halal, atas dasar pertimbangan bahwa Nabi bersabda:
خَيْرُكُمْ احْسَنُكُمْ قَضَاءً
Artinya:
“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam cara membayar hutang.”
Hadits
tersebut mencerminkan tentang sahabat yang membayar hutangnya dengan barang
yang lebih baik dari barang yang dihutangnya. Walaupun dalam kaitan ini Imam
Malik mengatakan “Jika dengan adanya tambahan itu melebihi hutangnya, maka
tetap tidak boleh.”
Terlepas dari apa yang telah dikemukakan, perlu dikemukakan di sini
analisa dan kesimpulan tentang bermu’amalah dengan bank konvensional oleh Dr.
Syaichul Hadi Purnomo, SH, MA., Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Ampel.
Tentang bermu’amalah dengan bank konvensional, beliau menyimpilkan: “Bermu’amalah
dengan bank konvensional yang ada sekarang ini, hukumnya halal, mubah, boleh.
Meski kita tetap mendambakan kehadiran bank Islam, bank yang tidak memakai
sistem bunga. Demikian juga bunga bank dari uang yang didepositokan, halal
hukumnya.”
E.
Hikmah Diharamkannya Riba
Wahbah
az-Zuhaili mengatakan bahwa hikamah pengharaman riba secara kasarnya adalah
karena riba itu menindas orang yang terpaksa dan terdesak, menghilangkan rasa
simpati dan kasih sayang kepada manusia, menghapuskan sifat tolong menolong
dalam kehidupan eksploitasi orang yang kuat terhadap yang lemah, dan merupakan
kemudharatan yang besar kepada manusia. Jika uang dijadikan alat muamalat
dengan tambahan riba atas penangguhan, maka akan cacatlah nilai harta yang
seoatutnya nilainya tetap.
Islam tidak
memihak kepada kepentingan pengusaha dan mengalahkan kepentingan pemilik modal.
Islam juga tidak berat sebelah kepada pemilik modal sehingga menyepelekan
kontribusi usaha. Keduanya berada dalam posisi yang seimbang. Ini juga
mencerminkan keadilan Allah yang tidak memihak kepada salah satu pihak.
Al-‘Allamah
Ibnu Hajar al-Haytsami dalam kitabnya az-Zawaajir meringkas hikmah-hikmah yang
terkandung dibalik pengharaman riba sebagai berikut:[12]
1.
Merupakan pelanggaran terhadap kesucian harta seorang muslim yang
mengambil kelebihan atau tambahan tanpa dibarengi adanya pertukaran dan
penggantian.
2.
Riba berdampak buruk sekali terhadap para fakir miskin karena pada
umumnya hanya orang kayalah yang meminjamkan uangnya, sedangkan yang miminjam
adalah orang yang miskin. Apabila si kaya tetap dibiarkan mengambil atau
menerima lebih banyak, maka hal yang demikian akan sangat merugikan yang
miskin.
3.
Riba mengakibatkan terputusnya nilai luhur kebaikan yang ada dalam
pinjam meminjam uang atau utang piutang. Apabila dihalalkan untuk meminjam satu
dirham dengan pengembalian dua dirham, maka tidak akan ada yang meminjamkan
satu dirham dan hanya mengembalikannya satu dirham saja.
4.
Riba mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki,
perniagaan, keterampilan, dan industri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya di
nyatakan dengan prosentase dari uang yang di pinjamkan. sedangkan riba
ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti
yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
2.
Riba/ bunga bank tidak hanya dilarang di agama islam, melainkan
juga dilarang dalam agama lainya seperti yahudi, kristiani dll. Karena riba /
bunga bank merupakan perbuatan yang bisa merugikan orang lain atau diri
sendiri, yang jelas-jelas tidak diperbolehkan bagi semua kalangan.
3.
Macam-macam riba ada 4 yaitu Riba fadhli ( menukarkan dua barang
yang sejenis dengan tidak sama ), Riba qardhi (meminjamkan dengan syarat ada
keuntungan bagi yang mempiutang), Riba yadh (bercerai dari tempat akad sebelum
timbang terima), Riba nasa’ (penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu
dua barang).
4.
Ulama juga telah konsensus/ijma’, bahwa riba hukumnya haram bahkan
termasuk dosa yang besar yang akan mencelakakan pelakunya di akhirat kelak, dan
akan merusak sendi-sendi moral kehidupan umat manusia, baik individu maupun
masyarakat.
5.
Riba mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki,
perniagaan, keterampilan, dan industri.
DAFTAR PUSTA
·
Budi Utomo , Setiawan. 2003. FIQH AKTUAL Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta:
Gema Insani Press.
·
Harahap, Syabirin.1984. Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam. Jakarta
:Pustaka Al Husna.
·
Harisudin, M. Noor. 2014. Fiqih Muamalah 1. Surabaya:
Pena Salsabila.
·
Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta : Unit
Penerbitan dan Percentakan (UPP) AMPYKPN.
·
Muhammad. 2006. Bank Syari’ah.Yogyakarta: Ekonisia
·
Mujtaba, Saifuddin. 2008. Al-Masailul Fiqhiyah. Surabaya:
IMTIYAS.
·
Syakir Sula, Muhammad. 2004. Asuransi Syariah konsep dan sistem
operasional. Jakarta: Gema Insani.
[1] Muhammad, Bank Syari’ah (Yogyakarta: Ekonisia,2006), 28
[3] Setiawan Budi
Utomo. FIQH AKTUAL Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta:Gema
Insani Press,2003), hlm 77-79
[4] Drs. Syabirin
Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta :Pustaka Al
Husna, 1984), 57-58 .
[5] Drs. Muhammad,
M.Ag, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta : Unit Penerbitan dan
Percentakan (UPP) AMPYKPN, 2002), 42 .
[6] Drs. Syabirin
Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta :Pustaka Al
Husna, 1984), 57-58 .
[7] Drs. Muhammad,
M.Ag, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta : Unit Penerbitan dan
Percentakan (UPP) AMPYKPN, 2002), 42 .
[8] Mujtaba,
Saifuddin. Al-Masailul Fiqhiyah. 2008. Surabaya: IMTIYAS. Hal 69.
[9] Harisudin, M.
Noor, Dr. M. Fil.I. Fiqih Muamalah 1. 2014. Surabaya: Pena Salsabila. Hal
104.
[10] Harisudin, M.
Noor, Dr. M. Fil.I. Fiqih Muamalah 1. 2014. Surabaya: Pena Salsabila. Hal
102-103.
[11] Mujtaba,
Saifuddin. Al-Masailul Fiqhiyah. 2008. Surabaya: IMTIYAS. Hal 70.
[12] Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah konsep dan sistem operasional, (Jakarta:
Gema Insani, 2004), 137-139.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar